ahlussunnah wal jamaah

NU menolak syiah (syiah sesat)

Sejak didirikan pertama kali pada 31 Januari 1926, NU melalui pendirinya Hadratus Syeikh Hasyim Asy’ari mengeluarkan rambu-rambu peringatan terhadap paham Syi’ah ini. Peringatan tersebut dikeluarkan agar warga NU ke depan hati-hati menyikapi fenomena perpecahan akidah.

Meski pada masa itu aliran Syi’ah belum sepopuler sekarang, akan tetapi Hasyim Asya’ari memberi peringatan kesesatan Syi’ah melalui berbagai karyanya. Antara lain; "Muqaddimah Qanun Asasi li Jam’iyyah Nahdlatul Ulama’, "Risalah Ahlu al-Sunnah wal Jama’ah,al-Nur al-Mubin fi Mahabbati Sayyid al-Mursalin” dan “al-Tibyan fi Nahyi ‘an Muqatha’ah al-Arham wa al-Aqrab wa al-Akhwan”.

Hasyim Asy’ari, dalam kitabnya “Muqaddimah Qanun Asasi li Jam’iyyah Nahdlatul Ulama’” memberi peringatan kepada warga nahdliyyin agar tidak mengikuti paham Syi’ah.

Menurutnya, madzhab Syi’ah Imamiyyah dan Syi’ah Zaidiyyah bukan madzhab sah. Madzhab yang sah untuk diikuti adalah Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali.

Beliau mengatakan: “Di zaman akhir ini tidak ada madzhab yang memenuhi persyaratan kecuali madzhab yang empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali). Adapun madzhab yang lain seperti madzhab Syi’ah Imamiyyah dan Syi’ah Zaidiyyah adalah ahli bid’ah. Sehingga pendapat-pendapatnya tidak boleh diikuti” (Muqaddimah Qanun Asasi li Jam’iyyah Nahdlatul Ulama’, halaman 9).

Syeikh Hasyim Asy’ari mengemukakan alasan mengapa Syi’ah Imamiyyah dan Zaidiyyah termasuk ahli bid’ah yang tidak sah untuk diikuti. Dalam kitab Muqaddimah Qanun Asasi halaman 7 mengecam golongan Syi’ah yang mencaci bahkan mengkafirkan sahabat Nabi SAW.

Mengutip hadis yang ditulis Ibnu Hajar dalam Al-Shawa’iq al-Muhriqah, Syeikh Hasyim Asy’ari menghimbau agar para ulama’ yang memiliki ilmu untuk meluruskan penyimpangan golongan yang mencaci sahabat Nabi SAW itu.

Hadis Nabi SAW yang dikuti itu adalah: “Apabila telah Nampak fitnah dan bid’ah pencacian terhadap sahabatku, maka bagi orang alim harus menampakkan ilmunya. Apabila orang alim tersebut tidak melakukan hal tersebut (menggunakan ilmu untuk meluruskan golongan yang mencaci sahabat) maka baginya laknat Allah, para malaikat dan laknat seluruh manusia”.

Peringatan untuk membentengi akidah umat itu diulangi lagi oleh Syeikh Hasyim dalam pidatonya dalam muktamar pertama Jam’iyyah Nahdlatul Ulama’, bahwa madzhab yang sah adalah empat madzhab tersebut, warga NU agar berhati-hati menghadapi perkembangan aliran-aliran di luar madzhab Ahlussunnah wal Jama’ah tersebut.

Dalam Qanun Asasi itu, Syeikh Hasyim Asy’ari menilai fenomena Syi’ah merupakan fitnah agama yang tidak saja patut diwaspadai, tapi harus diluruskan. Pelurusan akidah itu menurut beliau adalah tugas orang berilmu, jika ulama’ diam tidak meluruskan akidah, maka mereka dilaknat Allah SWT.

Kitab “Muqaddimah Qanun Asasi li Jam’iyyah Nahdlatul Ulama’” sendiri merupakan kitab yang ditulis oleh Syeikh Hasyim Asy’ari, berisi pedoman-pedoman utama dalam menjalankan amanah keorganisasian Nahdlatul Ulama. Peraturan dan tata tertib Jam’iyyah mesti semuanya mengacu kepada kitab tersebut.

Jika Syeikh Hasyim Asy’ari mengangkat isu-isu kesesatan Syi’ah dalam “Muqaddimah Qanun Asasi”, itu berarti persoalan kontroversi Syi’ah dinilai Syeikh Hasyim sebagai persoalan sangat penting untuk diketahui umat Islam Indonesia. Artinya, persoalan Syi’ah menjadi agenda setiap generasi Nahdliyyin untuk diselesaikan sesuai dengan pedoman dalam kitab tersebut.

Sikap tegas juga ditunjukkan Syeikh Hasyim dalam karyanya yang lain. Antara lain dalam “Risalah Ahlu al-Sunnah wal Jama’ah” dan “al-Nur al-Mubin fi Mahabbati Sayyid al-Mursalin” dan “al-Tibyan fi Nahyi ‘an Muqatha’ah al-Arham wa al-Aqrab wa al-Akhwan”, di mana cacian Syi’ah dijawab dengan tuntas oleh Syeikh Hasyim dengan mengutip hadis-hadis Nabi SAW tentang laknat bagi orang yang mencaci sahabatnya.

Hampir setiap halaman dalam kitab “al-Tibyan” tersebut berisi kutipan-kutipan pendapat parra ulama salaf salih tentang keutamaan sahabat dan laknat bagi orang yang mencelanya. Diantara ulama’ yang banyak dikutip adalah Ibnu Hajar al-Asqalani, dan al-Qadli Iyyadl.

Hadis-hadis Nabi SAW yang dikutip dalam dua kitab tersebut antara lain berbunyi:”Janganlah kau menyakiti aku dengan cara menyakiti ‘Aisyah”. “Janganlah kamu caci maki sahabatku. Siapa yang mencaci sahabat mereka, maka dia akan mendapat laknat Allah SAW, para malaikat dan sekalian manusia. Allah tidak akan menerima semua amalnya, baik yang wajib maupun yang sunnah”.

Pandangan yang sama pernah dilontarkan oleh KH. As’ad Syamsul ‘Arifin (alm), kyai kharismatik dari PP. Salafiyyah Syafi’iyyah Situbondo Jawa Timur pada tahun 1985. Saat itu Kyai As’ad diwawancarai Koran Surabaya Pos tentang faham Syi’ah di Jawa Timur. Kyai yang disegani oleh warga nadliyyin itu menampakkan sikap tegas, menurutnya kelompok Syi’ah ekstrem harus dihentikan di Indonesia. Agar tidak meluas gerakannya, Kyai As’ad mengimbau umat Islam Indonesia diminta meningkatkan kewaspadaannya (dikutip dari Majalah AULA no I/Tahun XVII/Januari 1996 halaman 23).

Jadi, sebenarnya sejak awal pendiri NU berpandangan bahwa paham Syi’ah telah melakukan penodaan agama. Bahkan jika mengamati butir-butir fatwa Syeikh Hasyim tersebut, penodaan Syi’ah itu telah melampau batas dan menukik jauh ke dalam keyakinan Ahlussunnah wal Jama’ah. Sehingga, sejak awalnya paham Syi’ah tidak diterima di kalangan NU.

Wacana-wacan NU untuk kembali ke khittah 1926 selayaknya tidak sekedar dimaknai bercerai dengan partai politik manapun, akan tetapi yang lebih terpenting lagi adalah khittah yang telah dibangun pendiri NU dilaksanakan saat ini oleh semua elemen warga NU. Yaitu khittah kembali kepada kitab Qanun Asasi.

Operasionalisasi khittah ini adalah membendung aliran sesat, seperti Syi’ah dan Ahmadiyyah. Khittah ini dapat dimaknai sebagai khittah untuk menjaga kemurnian akidah Ahlussunnah wal Jama’ah, bersih dari berbagai aliran-aliran sempalan yang menodai agama Islam. Karena berdirinya jam’iyyah NU adalah untuk menyebarkan paham yang benar tentang Ahlussunnah wal Jama’ah. Memang sudah semestinya, NU bersikap tegas terhadap aliran Syi’ah. Wallahu a’lam.


Wasiat sayyidatina fathimah az zahro


Sayyidina Ali kw Menerima Wasiat

Dari Siti Fathimah ra





Meninggalnya Rosululloh SAW membuat putri tersayangnya Siti Fathimah ra kehilangan gairah untuk lebih lama hidup di dunia. Beliau sangat merindukan untuk lebih cepat bertemu dan berkumpul kembali dengan ayah tercinta.

Beliau sudah tidak kelihatan lagi gembira, dan selalu kelihatan sedih bahkan sering menangis, sehingga badannya semakin kurus.



Kemudian setelah beliau merasakan bahwa ajalnya sudah dekat, maka beliau berwasiat kepada Sayyidina Ali kw, seorang suami tercinta yang selalu menjaga serta menghiburnya.

Ada tiga pesan Siti Fathimah ra yang disampaikan kepada Sayyidina Ali kw.
Yang pertama agar sepeninggalnya nanti, Sayyidina Ali kw dimintanya untuk menikah dengan Umamah binti Al Ash ra, kemanakan Siti Fathimah ra, putri dari Siti Zainab ra saudaranya.

Pilihan ini dikarenakan Umamah ra sudah sering membantunya dalam mengasuh putra putrinya. Sehingga bagi anak anaknya Umamah ra bukan orang yang asing, karena selalu berkumpul.

Mengenai Umamah ra ini, Imam Bukhori ra meriwayatkan, bahwa suatu ketika Rosululloh SAW sholat dengan menggendong cucunya yang masih kecil, yaitu Umamah putri dari Siti Zainab binti Rosulillah SAW. Apabila beliau sujud maka Umamah diletakkan dan saat berdiri beliau gendong lagi..

Itulah Umamah ra yang dipilih oleh Siti Fathimah ra untuk menjadi istri bagi suaminya.



Yang kedua, agar dibuatkan baginya Keranda, sebagaimana yang pernah dicontohkan oleh Asma’ binti Umais ra, dan diatasnya ditutup dengan kain. Sehingga disaat diangkat tidak kelihatan bentuk tubuhnya.

Keranda tersebut dalam sejarah dikenal sebagai Keranda pertama dalam Islam.



Yang ketiga, agar beliau dimakamkan diwaktu malam, dipemakaman umum Baqi’.

Namun beberapa Ulama menolak beliau dimakamkan dimalam hari, sebab untuk apa beliau minta dibuatkan Keranda dan ditutup dengan kain. Hal ini membuktikan bahwa beliau tidak dimakamkan dimalam hari.



Selanjutnya begitu Siti Fathimah ra wafat, semua yang diwasiatkan dipenuhi oleh Imam Ali kw. Satu persatu wasiatnya beliau laksanakan.



Yang pertama dimintanya Asma’ binti Umais ra (Istri Kholifah Abubakar ra.) untuk membuat Keranda, sebagaimana yang dikehendaki oleh Siti Fathimah ra. Kemudian yang memandikan juga Asma’ sesuai dengan wasiat Siti Fathimah ra kepada Asma’. Selanjutnya beliau disholatkan dan dimakamkan di Baqi’. Sesuai dengan yang dikehendaki oleh Siti Fathimah ra.

Wafatnya Siti Fathimah ra ini benar benar merupakan pukulan yang sangat besar bagi Imam Ali kw, sebab baru enam bulan beliau ditinggal oleh Rosululloh SAW, seorang panutan yang sejak kecilnya selalu mengasuh dan membimbingnya.



Beberapa hari kemudian, dalam rangka memenuhi Wasiat istrinya, maka Imam Ali kw menikah dengan Umamah ra, seorang wanita yang menjadi pilihan Siti Fathimah ra, yang bagi putra putri Imam Ali merupakan orang yang sudah lama mereka kenal.



Demikian Wasiat Siti Fathimah ra kepada Imam Ali kw


Karbala


Pada tahun enam puluh Hijriyah Kholifah Muawiyah meninggal dunia di Syam. Kemudian sesuai dengan wasiatnya maka yang menggantikannya adalah putranya yang bernama Yazid.

Penunjukan ini tentu mengundang reaksi dari para tokoh, terutama dari keluarga besar Bani Hasyim. Sebab kebiasaan jelek dari Yazid, seperti meminum minuman keras dan lainnya yang jelas jelas melanggar agama, bukan rahasia lagi bagi masyarakat saat itu.

Tapi karena tangan besi yang dilakukan oleh pemerintah saat itu, maka sangat sedikit dari masyarakat yang berani menentangnya.



Selanjutnya setelah mendapat baiat dari penduduk Syam, maka guna mendapatkan baiat dari Sayyidina Husin ra dan dari Bani Hasyim lainnya yang berada di Madinah, Yazid segera mengirim surat ke Walid bin Uqbah selaku Kepala Daerah Madinah.

Dalam surat itu Yazid memberitahukan bahwa Kholifah Muawiyah telah meninggal dunia dan dirinya telah ditunjuk sebagai penggantinya. Kemudian dalam surat tersebut Yazid memerintahkan kepada Walid bin Uqbah agar secepatnya mendapatkan baiat dari tokoh tokoh di Madinah, terutama dari Sayyidina Husin ra dan dari Bani Hasyim yang lain.

Tidak lama setelah menerima surat tersebut Walid bin Uqbah segera memanggil Sayyidina Husin ra yang saat itu sedang berada di Masjid bersama sahabat sahabatnya.

Malam itu juga Sayyidina Husin ra datang kerumah Walid bin Uqbah. Beliau datang seorang diri, sedang ditempat Walid selain Walid hanya ada Marwan yang sedang duduk disudut ruangan.

Selanjutnya setelah Walid bin Uqbah menyampaikan berita mengenai meninggalnya Kholifah Muawiyah serta penunjukan Yazid sebagai penggantinya, maka Walid bin Uqbah selaku Kepala Daerah meminta Baiat dari Sayyidina Husin ra.

Mendengar pemberi tahuan dan permintaan tersebut Sayyidina Husin ra segera menyampaikan ucapan duka cita atas meninggalnya Kholifah Muawiyah. Namun mengenai permintaan Baiat tersebut beliau beralasan bahwa orang seperti dia tidak boleh Baiat secara sembunyi sembunyi, tapi harus Baiat dihadapan halayak ramai.

Rupanya alasan tersebut bisa diterima oleh Walid bin Uqbah, karena dalam benaknya dia berpendapat apabila Sayyidina Husin ra sudah Baiat dihadapan halayak ramai pasti seluruh penduduk Madinah akan Baiat.



Keesokan harinya Sayyidina Husin ra mempersiapkan satu perjalanan yang masih dirahasiakannya, dan seharian beliau tidak keluar dari rumahnya. Sedang Walid bin Uqbah pada hari itu sibuk menerima tamu tamu yang berta’ziah atas meninggalnya Kholifah Muawiyah.



Selanjutnya pada malam harinya dalam rangka menghindari Baiat kepada Yazid, malam itu juga Sayyidina Husin ra bersama keluarganya secara diam-diam meninggalkan Madinah menuju Mekah. Tepatnya malam minggu tanggal dua puluh delapan Rajab tahun enam puluh Hijriyah.

Kemudian setelah melalui dan melewati jalan yang tidak biasa dilalui oleh para Musafir, karena kepergiannya takut diketahui oleh orang orangnya Walid bin Uqbah, maka akhirnya sampailah Sayyidina Husin ra dikota Mekah dengan selamat.



Berita sampainya Sayyidina Husin ra dan keluarganya di Mekah tersebar keberbagai daerah. Orang-orang Kufah yang dikenal sebagai Syi’ahnya Imam Ali kw dan Imam Hasan ra begitu mendengar berita tersebut, segera berkirim surat ke Sayyidina Husin ra. Mereka meminta agar Sayyidina Husin ra mau datang ke Kufah untuk di baiat sebagai Kholifah. Dan apabila tidak mau, maka beliau harus bertanggung jawab dihadapan Alloh SWT, atas kedholiman yang terjadi.

Namun meskipun surat yang dikirim dari Kufah tidak ada henti-hentinya, Sayyidina Husin ra tetap tidak mau pergi ke Kufah.

Hal mana karena beliau masih ingat penghianatan orang-orang Kufah terhadap ayahnya dan saudaranya. Mereka mengaku sebagai Syi’ahnya Ahlul Bait, tapi kenyataannya mereka justru berkhianat.

Setelah melalui berbagai surat gagal, maka orang-orang Kufah tersebut mengutus beberapa orang guna menemui Sayyidina Husin ra, meminta pada beliau agar mau datang ke Kufah untuk di Baiat sebagai Kholifah.

Sebagai orang yang arif lagi bijaksana, walaupun sudah berkali kali di khianati oleh orang-orang yang mengaku sebagai Syi’ahnya Ahlul Bait, beliau akhirnya mengutus Muslim bin Agil (sepupunya) ke Kufah guna membuktikan apa yang sudah mereka sampaikan.

Sesampainya Muslim bin Agil ra di Kufah, puluhan ribu penduduk Kufah menyambutnya serta membaiatnya sebagai wakil dari Sayyidina Husin ra.

Muslim bin Agil segera mengirim surat ke Sayyidina Husin ra, memberitahukan mengenai keadaan dan apa yang terjadi di Kufah, serta mengharap agar Sayyidina Husin ra segera berangkat ke Kufah.

Setelah menerima surat tersebut, Sayyidina Husin ra. segera memutuskan untuk segera berangkat ke Kufah. Kemudian rencana tersebut beliau sampaikan ke famili-familinya serta sahabat-sahabatnya.

Abdulloh bin Abbas sepupu Imam Ali kw begitu mendengar rencana Sayyidini Husin ra tersebut, segera mendatangi Sayyidina Husin ra dan menasihatinya agar menggagalkan rencananya. Sebab Abdulloh bin Abbas ra tahu benar watak orang-orang Kufah yang selalu mengaku sebagai pecinta Ahlul Bait tersebut.



Dengan harapan dapat menyelamatkan negara dari orang-orang yang tidak layak memimpin negara, maka Sayyidina Husin ra terpaksa menolak nasehat Abdulloh bin Abbas ra dan tetap akan berangkat ke Kufah.

Kemudian pada tanggal sembilan Dhulhijjah (hari Tarwiyah) Sayyidina Husin ra bersama keluarganya dan beberapa orang Anshor meninggalkan Mekah menuju Kufah.



Namun apa yang terjadi di Kufah ?

Yazid yang men’jabat sebagai Khalifah di Syam, begitu mendengar bahwa orang-orang Kufah sudah memihak dan membaiat Muslim bin Agil ra sebagai wakil dari Sayyidina Husin ra, segera mengangkat Ubaidillah bin Ziyad sebagai Kepala Daerah Kufah yang baru menggantikan Nu’man bin Basyir.

Berbeda dengan Kepala Daerah yang lama, Ubaidillah bin Ziyad orangnya tegas, kejam, cerdik dan lihai serta pandai mempengaruhi penduduk Kufah. Sehingga tidak lama kemudian penduduk Kufah sudah berpaling dari Muslim bin Agil ra. Mereka yang menyatakan dirinya sebagai Syi’ahnya Ahlul Bait dan membaiat Muslim bin Agil ra sebagai wakil dari Sayyidina Husin ra itu telah berkhianat. Mereka berubah haluan, mereka terpengaruh oleh bujukan dan rayuan Ubaidillah bin Ziyad dan berbalik menjadi pengikut Yazid.

Muslim bin Agil ra tidak berdaya dan tidak bisa berbuat apa apa melihat keadaan yang menyedihkan tersebut. Bahkan setelah melalui pengejaran, akhirnya Muslim bin Agil ra meninggal dunia ( terbunuh Syahid ).

Sayyidina Husin ra yang sedang diperjalanan bersama rombongannya dari Mekah ditambah orang-orang yang bergabung dengannya diperjalanan, ketika mendengar berita mengenai keadaan di Kufah serta kematian Muslim bin Agil ra, segera berkata kepada rombongannya sbb;

Hai orang-orang, kita telah dikhianati oleh orang-orang Kufah. Barang siapa akan meninggalkan rombongan, saya persilahkan dan dia tidak bersalah.

Mendengar kata-kata Sayyidina Husin ra dan mengetahui keadaan di Kufah, maka sebagian rombongannya ada yang meninggalkan rombongan. Tinggal Sayyidina Husin ra dan rombongannya yang datang bersamanya dari Mekah.



Tidak lama kemudian, Sayyidina Husin ra dan rombongannya dihadang oleh pasukan Ibin Ziyad yang berkekuatan seribu personil dipimpin oleh Al Hur bin Yazid At Tamimi.

Selanjutnya begitu berhadapan dengan mereka, Sayyidina Husin ra segera berkata; Wahai orang-orang, sebelumnya saya mohon maaf kepada Alloh dan kepada kalian, sebenarnya saya tidak akan datang ketempat kalian terkecuali setelah menerima surat-surat dari kalian dan utusan kalian yang meminta pada saya agar saya mau datang ketempat kalian. Dan sekarang saya sudah datang, apabila kalian dengan senang hati mau menerima kami, maka kami akan masuk kota kalian. Tapi jika kalian tidak senang dengan kedatangan kami, maka kami akan kembali ketempat dari mana kami berangkat.

Setelah mendengar kata-kata Sayyidina Husin ra mereka menjawab; Kami hanya diperintah untuk membawa kalian ke Ibin Ziyad.

Mendengar kata-kata tersebut Sayyidina Husin ra segera mengajak rombongannya kembali ke Mekah, tapi dihalangi oleh Al Hur dan anak buahnya.

Melihat kelakuan mereka tersebut Sayyidina Husin ra bertanya ;

Apa maksud kalian?

Al Hur menjawab; Saya tidak diperintah untuk memerangimu, tapi saya diperintah untuk membawamu kehadapan Ibin Ziyad. Karenanya jangan kemana - mana dulu, sampai aku mengirim surat ke Ibin Ziyad. Dan kamu juga berkirimlah surat ke Yazid dan Ibin Ziyad, semoga Alloh menyelamatkan aku dari urusanmu.

Tidak berapa lama kemudian, datang Umar bin Saad bersama tentaranya yang berjumlah empat ribu orang. Tepatnya hari itu, jum’at tanggal lima Muharrom tahun enam puluh satu Hijriyah.

Kemudian Umar bin Saad memberi tahu Sayyidina Husin ra bahwa Ibin Ziyad memerintahkannya, agar melarang Sayyidina Husin ra mengambil air, sampai Sayyidina Husin ra mau membaiat Yazid.

Sayyidina Husin ra menjawab bahwa dia datang ketempat itu dikarenakan surat surat yang dikirim oleh orang orang Kufah yang memintanya agar mau datang ke Kufah. Bahkan ada beberapa orang yang datang mengundangnya keKufah. Tapi apabila sekarang dia tidak diperbolehkan melanjutkan perjalanannya menuju Kufah, maka Sayyidina Husin ra mengajukan tiga pilihan.

Yang pertama dia akan kembali Ke Hijaz.

Atau dia akan pergi kedaerah lain yang dia pilih.

Atau dia akan ke Syam menemui Yazid.



Selanjutnya oleh karena Sayyidina Husin ra tidak mau Baiat kepada Yazid dan hanya memberikan tiga pilihan, maka sejak saat itu Sayyidina Husin ra dan rombongannya dilarang mengambil air.

Tapi tidak lama kemudian, melihat banyak anak anak yang kehausan dan melihat akibat dari tindakannya tersebut, hati Umar mulai iba, kemudian dia berkirim surat ke Ibin Ziyat memberi tau tiga pilihan yang diajukan oleh Sayyidina Husin ra serta meminta Izin agar rombongan Sayyidina Husin ra diperbolehkan mengambil air Sungai untuk minum.

Mengapa Umar bin Saad berubah sikapnya agak lunak? Diceritakan bahwa perubahan tersebut diantaranya dikarenakan telah terjadi satu peristiwa yang luar biasa, dimana saat itu Sayyidina Husin ra karena haus, pergi kesungai untuk minum dan mengambil air untuk minumnya kaum wanita dan anak-anak. Tapi beliau dihalangi oleh perajurit Umar bin Saad. Saat itu ada seorang yang bernama Abdulloh bin Abi Hushoin berkata kepadanya: Hai Husin, tidakah engkau melihat air yang jernih itu?. Tapi demi Alloh aku bersumpah bahwa engkau tidak akan meminumnya, meskipun satu tetes., hingga engkau mati kehausan.

Mendengar dan melihat sikap orang yang benar-benar ingin melihat dia mati kehausan itu, Sayyidina Husin ra segera meninggalkan tempat tersebut dalam keadaan haus yang luar biasa, sambil berdoa memohon kehadirat Alloh SWT agar orang tersebut merasakan dahaga yang tidak bisa dihilangkan.

Tidak lama setelah Sayyidina Husin ra memanjatkan doanya, Abdullah bin Abi Hushoin merasa haus yang luar biasa. Sehingga dia tidak sanggup menahan dahaganya. Iapun segera minum, namun meskipun dia sudah minum banyak, tapi rasa hausnya masih tetap. Karenanya dia terus minum, sampai perutnya yang besar itu terasa kembung.

Tak tahan merasa dahaga tapi perutnya terasa penuh air, maka diapun akhirnya tumpah tumpah. Namun kejadian ini tidak berhenti, karena rasa haus yang dia rasakan tidak berhenti. Selanjutnya setiap dia minum, dia selalu tumpah, karena perutnya yang sudah kembung itu tidak bisa lagi menerima air.

Akhirnya dalam keadaan lemas dan tidak berdaya dia menghembuskan nafas yang terakhir sambil memegang lehernya

Kejadian tersebut disaksikan oleh beberapa temannya sehingga menjadi pembicaraan anak buah Umar bin Saad. Mungkin kejadian ini menambah alasan, mengapa sikap Umar bin Saad berubah agak lunak dan meminta izin ke Ibin Ziyad.



Ternyata Ibin Ziyad setelah membaca surat dari Umar bin Saad tersebut justru marah. Kemudian dia Segera mengirim Syamer bin Dhil Jausyan membawa surat untuk Umar bin Saad yang isinya menolak tiga pilihan Sayyidina Husin ra. tersebut serta menolak permintaan izin Umar bin Saad dan memberi tahu bahwa dia dalam menghadapi Sayyidina Husin ra, hanya diberi dua pilihan yaitu antara Baiat kepada Yazid atau perang.

Kepada Syamer bin Dhil Jausyan Ibin Ziyad berpesan ; Apabila Umar mau mengikuti perintahku, maka ikutilah dia, tapi apabila dia menolak, maka tebaslah lehernya.

Ternyata setelah mendengar apa yang telah disampaikan oleh Syamer bin Dhil Jausyan tersebut, Umar bin Saad mau menerima dan akan melaksanakan perintah Ibin Ziyad tersebut.



Selanjutnya oleh karena Sayyidina Husin ra tetap tidak mau Baiat kepada Yazid, maka pagi harinya Umar bin Saad segera mempersiapkan tentaranya guna menyerang Sayyidina Husin ra.

Kemudian melihat musuh sudah bersiap-siap akan menyerang, maka Sayidina Husin ra segera mempersiapkan pasukannya guna menghadapi Umar bin Saad dan pasukannya. Sedang kaum wanita disuruh tetap tinggal didalam kemah bersama putranya yang bernama Ali Al Aushot yang sedang sakit.

Melihat musuh yang begitu banyak jumlahnya, diperkirakan mencapai lima ribu orang, sedang beliau dan orang-orangnya hanya berjumlah tujuh puluh dua orang, maka beliau hanya bisa pasrah kepada Alloh SWT. Namun beliau tidak takut dan tidak gentar serta tidak mengenal Tagiyah dalam menghadapi musuh-musuhnya yang begitu banyak.

Beliau menghadapi mereka dalam keadaan puasa, karena hari itu tepat tanggal sepuluh Muharrom. Dimana Rosululloh SAW berpuasa pada tanggal itu dan memerintahkan para Sahabat agar berpuasa. Bahkan agar berbeda dengan orang-orang Yahudi yang juga berpuasa pada tanggal sepuluh Muharrom, maka Rosululloh SAW juga memerintahkan agar Umatnya berpuasa pada tanggal sembilan Muharrom, yang kemudian dikenal dengan puasa Tasua dan Asyuro.



Tetesan Air Mata

Ada satu kejadian yang luar biasa, yang perlu kami sampaikan disini, dan sekaligus sebagai pelajaran bagi kita.

Pagi sepuluh Muharrom itu, disaat Sayyidina Husin ra sedang memperhatikan musuh yang ada dihadapannya dan akan menyerangnya, tiba-tiba air matanya menetes. Hal ini menunjukkan ada sesuatu yang membuatnya menangis.

Melihat kejadian tersebut, Siti Zainab ra yang ada didekatnya segera bertanya ; Mengapa air matamu sampai menetes wahai saudaraku, apakah engkau takut?, padahal engkau akan bertemu dengan saudaramu, ibumu, ayahmu dan datukmu Rosululloh Saw

Sayyidina Husin ra segera menjawab: Bukan karena itu air mataku menetes, tapi aku melihat orang-orang yang akan membunuhku itu masuk Neraka. Maka aku merasa kasihan pada mereka dan aku memohon kepada Alloh Swt agar mereka dimasukkan Surga.



Sungguh kejadian ini membuktikan kebesaran jiwa serta kemuliaan sifat dan akhlaq Sayyidina Husin ra. Sesuatu yang telah diwarisinya dari datuknya baginda Rosululloh SAW. Seorang yang telah menyandang gelar, sebagai Rahmatan Lil Alamin.

Alloh SWT telah berfirman:



وَمَا اَرْسَلْنَكَ اِلاَّ رَحْمَةً لِلْعَالَمِينْ

( الانبياء - 107 (

Dan kami tidak mengutusmu terkecuali sebagai Rahmat bagi alam semesta.

( Al Anbiya’ ayat 107)



Bukan hanya anak buahnya atau pecintanya yang didoakan masuk Surga, tapi sampai musuh musuhnya dan orang-0rang yang akan membunuhnya, beliau doakan masuk Surga.

Beliau Sayyidina Husin ra menginginkan kehidupan mereka, tapi mereka justru menginginkan kematiannya.

Demikian Sayyidina Husin ra, seorang Ahlul Bait yang berhati mulia, pemaaf dan tidak sedikitpun mempunyai rasa dendam pada orang lain. Baik terhadap musuh-musuhnya atau orang-orang yang akan membunuhnya, apalagi terhadap orang-orang yang telah berjasa terhadap Rosululloh SAW dan islam.

Kejadian diatas sebagai pelajaran bagi kita, agar kita tidak cepat-cepat mengumpat atau mencacimaki orang-orang yang yang berbuat jelek kepada kita dan Ahlul Bait, tapi kita doakan mereka, semoga mereka mendapat hidayah dari Alloh SWT.



Selanjutnya tidak lama kemudian kedua pasukan sudah berhadapan. Pada awalnya difihak Sayyidina Husin ra, barisan depan ditempati oleh putra-putra Sayyidina Husin ra dan putra-putra saudaranya. Namun kemudian orang-orang Anshar yang bersamanya sejak awal, memprotes dan berkata kepadanya ;

Wahai putra dari putri Rosululloh SAW, kita sudah ada kesepakatan, bahwa dalam setiap pertempuran kami orang-orang Anshor akan selalu ditempatkan dibarisan terdepan. Tapi mengapa sekarang kami ditempatkan dibarisan kedua?.

Kemudian Sayyidina Husin ra menjawab; Benar kami ada kesepakatan dengan kalian, tapi kali ini biarlah keluargaku yang berada digaris depan, dan kalian cukup dibarisan kedua saja.

Mendengar jawaban Sayyidina Husin ra tersebut, orang-orang Anshor itu berkata ;

Jadi kami diletakkan dibarisan kedua itu agar apabila kalian gugur, maka kami akan dibiarkan oleh musuh. Sebab yang dikehendaki oleh musuh adalah kalian. Dan selanjutnya apabila kami pulang, maka penduduk Madinah akan berkata; Kalian senang karena pulang dalam keadaan selamat, sedang pemimpin (Sayid) kita, kalian tinggalkan dalam keadaan gugur, dibunuh oleh musuh-musuh kita.

Demi Alloh kami akan gugur bersama kalian, dalam mempertahankan kebenaran.



Mendengar apa yang disampaikan, akhirnya Sayyidina Husin ra memberi ijin kepada mereka untuk menempati barisan terdepan.



Tidak lama kemudian terjadilah pertempuran, dan oleh karena pertempuran ini tidak seimbang, meskipun dari fihak Sayyidina Husin ra sudah menunjukan perlawanan yang luar biasa, maka dari fihak Sayyidina Husin ra korban mulai berjatuhan. Satu demi satu sahabatnya dan keluarganya gugur dan akhirnya Sayyidina Husin ra sendiri juga gugur Syahid.

Berbagai cara mereka lakukan saat menyerang dan membunuh Sayyidina Husin ra, tapi kami selaku penulis buku ini tidak dapat menguraikan kebiadaban tersebut. Dan Kami hanya bisa berucap, Innaa Lillaah Wa Innaa Ilaihi Roojiuun.



Sebenarnya Sayyidina Husin ra sudah merasa bahwa dirinya akan meninggal pada hari itu, sebab pada pagi hari itu beliau bermimpi bertemu dengan datuknya, dimana Rosululloh SAW saat itu berkata kepadanya;

Malam ini engkau berbuka bersama kami.

Karenanya disaat saudarinya meminta kepadanya agar beliau mau membatalkan puasanya sebelum berperang, beliau menjawab:

Saya akan berbuka bersama datukku.

Dengan demikian hari itu atau hari Asyuro adalah hari kemenangan dan kegembiraan bagi Sayidina Husin ra, sebab pada hari itu beliau bertemu dengan Rosululloh SAW, bertemu dengan ayahnya Imam Ali kw dan dengan ibunya Fathimah Az Zahra ra serta dengan saudaranya Sayyidina Hasan ra. Sehingga hari itu merupakan hari yang sudah lama dinanti-nantikannya.

Karena kebenaranlah beliau berkorban, dan karena berkorban itu beliau mendapat kedudukan yang sangat tinggi disisi Alloh SWT sebagai Syahid.



Satu-satunya anak lelaki dari Sayyidina Husin ra yang masih hidup dan selamat dari kekejaman orang orang Kufah atau orang-orang yang pernah mengaku sebagai Syi’ahnya Ahlul Bait adalah Sayyidina Ali Zainal Abidin atau Ali Al Aushot ra. Beliau selamat karena saat itu beliau sedang sakit dan berada didalam kemah bersama kaum wanita.

Kemudian setelah peperangan selesai, semua keluarga Sayyidina Husin ra yang masih hidup, yang terdiri dari orang orang perempuan dan Sayyidina Ali Zainal Abidin ra ditawan dan dibawa ke Ibin Ziyad di Kufah. Tidak ketinggalan kepala Sayyidina Husin ra dan kepala kepala Sahabatnya juga dibawa kehadapan Ibin Ziyad. Jarak antara Karbala dengan Kufah kurang lebih dua puluh lima Mil.



Imam Thurmudhi meriwayatkan:

Ketika kepala Sayyidina Husin ra diletakkan dihadapan Ibin Ziyad, maka dengan sombongannya Kepala Daerah Kufah itu mempermainkan hidung dan mulud sayyidina Husin ra dengan tongkatnya.

Melihat kebiadaban Abdullah bin Ziyad tersebut, Anas bin Malik yang saat itu berada diruangan itu tidak dapat menahan tangisnya. Sedang Zeid bin Argom yang juga berada diruangan itu segera bereaksi dan berteriak; Angkat tongkatmu hai Ibin Ziyad, demi Alloh saya selalu melihat Rosululloh Saw menciumi antara mulut dan hidungnya.

Kemudian sambil menoleh ke Ibin Ziyad, Zeid bin Argom meneruskan perkataannya; Saya sering melihat Rosululloh Saw mendudukkan Al Hasan dipangkuan kanannya dan Al Husin dipangkuan sebelah kiri, lalu bagaimana engkau sampai hati memperlakukannya seperti itu, wahai Ibin Ziyad.

Mendengar kata kata tersebut Ibin Ziyad marah dan hampir membunuhnya dan diapun berkata; Andaikata kau bukan seorang yang sudah tua, pasti aku sudah menebas lehermu.



Selanjutnya atas perintah Ibin Ziyad, kepala kepala tersebut diarak keliling kota..

Sayyidina Ali Zainal Abidin ra sendiri hampir dibunuh dihadapan Ibin Ziyad andaikata Sayyidah Zainab ra ( saudari Imam Husin ra ) tidak melarang mereka, dan sambil merangkulnya beliau berkata, bunuhlah aku dahulu sebelum kalian membunuhnya. Namun akhirnya Ibin Ziyad mengurungkan niatnya, sehingga selamatlah Sayyidina Ali Zainal Abidin ra dari kekejaman Ibin Ziyad.

Kemudian para tawanan dan kepala Sayyidina Husin ra dibawa dari Kufah ketempat Yazid di Damaskus (Syam). Pada awalnya Yazid yang sebelumnya senang dengan tindakan Ibnu Ziyad tersebut, begitu menyaksikan apa yang ada dihadapannya mulai menyesal. Terutama setelah melihat reaksi penduduk Damaskus yang tidak senang melihat apa yang terjadi. Bahkan Yazid sampai mengumpat Ibin Ziyad dan berkata, semoga Alloh melaknat Ibnu Sumayyah.. Tapi karena tujuannya untuk politik, yaitu mempertahankan kekuasaannya, maka selanjutnya kepala Sayyidina Husin ra diarak keberbagai daerah.


Ahlussunnah wal jama'ah



Kalau kita mau merenungkan makna-makna dalam kalimat as sunnah dan makna-makna dalam kalimat al jama’ah, seperti yang disinggung dalam beberapa nash syari’at, dan seperti yang diungkapkan serta dipahami oleh para salafus saleh, kita akan tahu dengan jelas bahwa hal itu hanya cocok dan sesuai dengan golongan ahli sunnah wal jama’ah.

Siapa sebenarnya mereka? Apa sifat-sifat mereka? Dan apa manhaj mereka? Berdasarkan hal itu kita bisa mengidentifikasi siapa sejatinya ahli sunnah wal jama’ah dari beberapa segi sekitar yang menyangkut sifat-sifat mereka, ciri-ciri mereka, manhaj mereka, dan definisi mereka menurut kaca mata orang-orang salafus saleh bahwa yang dimaksud ialah mereka. Sebab, pemilik rumah itu jelas yang paling tahu isi rumahnya, dan walikota itu yang paling tahu rakyatnya.

Di antara segi tinjauan yang memungkinkan kita bisa mengetahui siapa ahlu sunnah wal jama’ah itu ialah:

Pertama, sesungguhnya mereka adalah para sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Merekalah ahli sunnah, yakni orang-orang yang mengajarkannya, menjaganya, mengamalkannya, mengutipnya, dan membawanya baik dalam bentuk riwayat atau dirayat atau manhaj. Jadi merekalah yang paling dahulu mengenal sekaligus mengamalkan as sunnah.

Kedua, selanjutnya ialah para pengikut sahabat Rasaulullah shallallahu alaihi wa sallam. Merekalah yang menerima tongkat estafet agama dari para sahabat, yang mengutip, yang mengetahui, dan yang mengamalkannya. Mereka adalah para tabi’in dan generasi yang hidup sesudah mereka, kemudian orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik sampai hari kiamat kelak. Mereka itulah sejatinya ahli sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Mereka berpegang teguh padanya, tidak membikin bid’ah macam-macam, dan tidak mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang yang beriman.

Ketiga, ahli sunnah wal jama’ah, mereka adalah para salafus saleh, yakni orang-orang yang setia pada Al Qur’an dan as sunnah, yang konsisten mengamalkan petunjuk Allah dan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, yang mengikuti jejak langkah peninggalan para sahabat, para tabi’in, dan pemimpin-pemimpin pembawa petunjuk umat, yang jadi tokoh panutan dalam urusan agama, yang tidak membikin bid’ah macam-macam, yang tidak menggantinya, dan yang tidak mengada-adakan sesuatu yang tidak ada dalam agama Allah.

Keempat, ahli sunnah wal jama’ah ialah satu-satunya golongan yang berjaya dan mendapat pertolongan Allah sampai hari kiamat nanti, karena merekalah yang memang cocok dengan sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam:

“Ada segolongan dari umatku yang selalu membela kebenaran. Mereka tidak merasa terkena mudharat orang-orang yang tidak mendukung mereka sampai datang urusan Allah dan mereka tetap dalam keadaan seperti itu..”

Dalam satu lafazh disebutkan:

“Ada segolongan umatku yang senantiasa menegakkan perintah Allah….”

Kelima, mereka adalah orang-orang yang menjadi asing atau aneh ketika dimana-mana banyak orang yang suka mengumbar hawa nafsu, berbagai kesesatan merajalela, bermacam-macam perbuatan bid’ah sangat marak, dan zaman sudah rusak. Hal itu berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam:

“Semula Islam itu asing dan akan kembali asing. Sungguh beruntung orang-orang yang asing.”

Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam juga bersabda,

“Sungguh beruntung orang-orang yang asing, yakni beberapa orang saleh yang hidup di tengah-tengah banyak manusia yang jahat. Lebih banyak orang yang memusuhi mereka daripada yang taat kepada mereka.”

Sifat tersebut cocok dengan ahli sunnah wal jama’ah.

Keenam, mereka adalah para ahli hadist, baik riwayat maupun dirayat. Karena itulah kita melihat para tokoh kaum salaf menafsiri al tha’ifat al manshurat dan al firqat al najiyat, yakni orang-orang ahli sunnah wal jama’ah, bahwa mereka adalah para ahli hadist. Hal itu berdasarkan riwayat dari Ibnu Al Mubarak, Ahmad bin Hambal, Al Bukhari, Ibnu Al Madini, dan Ahmad bin Sinan. Ini benar, karena para ahli hadist lah yang layak menyandang sifat tersebut, mereka adalah para pemimpin ahli sunnah.

Mengomentari kalimat al tha’ifat al manshurat Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan: “Kalau yang dimaksud dengan mereka bukan ahli hadist, saya tidak tahu lalu siapa lagi?!”

Al Qadhi Iyadh mengatakan: “Sesungguhnya yang dimaksud dengan mereka oleh Imam Ahmad ialah ahli sunnah wal jama’ah, dan orang yang percaya pada madzhab ahli hadist.”

Menurut saya, seluruh kaum muslimin yang tetap berpegang pada fitrah aslinya dan tidak suka menuruti keinginan-keinginan nafsu serta tidak suka membikin berbagai macam bid’ah, mereka adalah ahli sunnah. Mereka mengikuti jejak langkah ulama-ulama mereka berdasarkan petunjuk yang benar.



Kenapa Dinamakan Ahli Sunnah Wal Jama’ah?

Dinamakan ahli sunnah, karena mereka adalah orang-orang yang berpegang pada sunnah Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam, “Kalian harus berpegang teguh pada sunnahku.”

Adapun as sunnah ialah, syara’ atau agama, dan petunjuk lahir batin yang diterima oleh sahabat dari Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam, lalu diterima oleh para tabi’in dari mereka, kemudian diikuti oleh para pemimpin umat dan ulama-ulama yang adil yang menjadi tokoh panutan, dan oleh orang-orang yang menempuh jalan mereka sampai hari kiamat nanti.

Berdasarkan hal inilah maka orang yang benar-benar mengikuti as sunnah disebut sebagai ahli sunnah. Merekalah yang sosok dengan kenyataan tersebut.

Sementara nama al jama’ah, karena mereka berpegang pada pesan Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam untuk setia pada jama’ah atau kebersamaan. Mereka bersama-sama sepakat atas kebenaran, dan berpegang teguh padanya. Mereka mengikuti jejak langkah jama’ah kaum muslimin yang berpegang teguh pada as sunnah dari generasi sahabat, tabi’in, dan para pengikut mereka. Mengingat mereka bersama-sama bersatu dalam kebenaran, bersama-sama bersatu ikut pada jama’ah, bersama-sama bersatu taat pada pemimpin mereka, bersama-sama bersatu melakukan jihad, bersama-sama bersatu tunduk kepada para penguasa kaum muslimin, bersama-sama bersatu mengerjakan yang makruf dan mencegah dari yang mungkar, bersama-sama bersatu mengikuti as sunnah, dan bersama-sama bersatu meninggalkan berbagai perbuatan bid’ah, perbuatan yang terdorong oleh keinginan-keinginan nafsu, serta perbuatan yang mengundang perpecahan, maka merekalah jama’ah sejati yang mendapat perhatian Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam.

Terakhir kita sampai pada sebuah kesimpulan yang konkrit bahwa nama dan sifat ahli sunnah wal jama’ah adalah istilah yang bersumber:

Pertama, dari sunnah Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam ketika beliau menyuruh dan berpesan kepada kaum muslimin untuk berpegang teguh padanya, sebagaiman sabda beliau, “Berpegang teguhlah kalian pada sunnahku”, ketika beliau menyuruh dan berpesan kepada mereka untuk setia pada jama’ah, dan melarang menentang serta memisahkan diri darinya. Jadi nama ahli sunnah wal jama’ah adalah nama pemberian Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam. Beliaulah yang menyebut mereka seperti itu.

Kedua, dari peninggalan sahabat dan para salafus saleh yang hidup pada kurun berikutnya. Peninggalan tersebut menyangkut ucapan, sifat, dan tingkah laku mereka. Nama itu sudah mereka sepakati bersama dan menjadi sifat para pengikutnya. Peninggalan-peninggalan mereka itu ada pada karya-karya mereka yang tertulis dalam kitab-kitab hadist dan atsar.

Ketiga, istilah ahli sunnah wal jama’ah adalah keterangan syari’at yang didukung dengan kenyataan yang benar-benar ada. Istilah itu membedakan antara orang-orang yang setia pada kebenaran dari orang-orang yang suka membikin bid’ah dan menuruti keinginan-keinginan hawa nafsu. Ini berbeda dengan anggapan sementara orang yang mengatakan, bahwa ahli sunnah wal jama’ah adalah sebuah nama yang muncul di tengah perjalanan zaman. Nama ini baru ada di trngah-tengah perpecahan kaum muslimin. Padahal sebenarnya tidak begitu. Itu anggapan yang keliru. Ahli sunnah wal jama’ah adalah istilah atau nama ala syari’at yang berasal dari kaum salaf umat Islam. Artinya, ia sudah ada semenjak zaman sahabat dan para tabi’in yang hidup pada periode-periode awal Islam.

Mengenai anggapan sementara orang yang sudah menjadi budak nafsu bahwa ahli sunnah itu hanya terbatas pada orang-orang salaf mereka saja, dan bahwa yang dimaksud dengan salafus saleh adalah orang-orang yang mengikuti madzhab mereka, itu memang benar. Anggapan tersebut tidak keliru, karena salafus saleh memang ahli sunnah. Begitu pula sebaliknya, baik ditinjau dari pengertian syari’at maupun kenyataannya, sebagaimana yang sudah saya kemukakan di atas. Jadi siapa yang tidak mengikuti madzhab salaf dan tidak menempuh manhaj serta jalan mereka, berarti ia telah memisahkan dari as sunnah dan jama’ah.

Perlu kita katakan kepada orang-orang sesat yang meng-ingkari as sunnah dan para pengikutnya, bahwa itulah yang dimaksud as sunnah, dan mereka itulah para pengikutnya yang bernama ahli sunnah wal jama’ah. Jika kita berpaling dan menolak ucapan yang benar ini, maka kita hanya bisa mengingatkan mereka apa yang pernah dikatakan oleh Nabi Nuh alaihi salam kepada orang-orang yang berpaling dari seruan dakwahnya, seperti yang tertuang dalam firman Allah Ta’ala ini:

“Berkata Nuh, ‘Hai kaumku, bagaiman pikiranmu, jika aku ada mempunyai bukti yang nyata dari Tuhanku, dan diberi-Nya aku rahmat dari sisi-Nya, tetapi rahmat itu disamarkan bagimu. Apakah akan kamu paksakan kamu menerimanya, padahal kamu tiada menyukainya?”



Apakah Mereka Dibatasi Oleh Ruang dan Waktu?

Ahli sunnah wal jama’ah itu tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Mereka banyak terdapat di sebuah negara, namun sedikit di negara lainnya. Mereka terdapat banyak pada suatu kurun zaman, tetapi hanya sedikit pada kurun zaman yang lain. Tetapi yang jelas mereka selalu ada di mana dan kapan saja.

Di tengah-tengah mereka terdapat tokoh-tokoh terkemuka yang menjadi pelita kegelapan dan hujjah Allah terhadap makhluk-Nya hingga hari kiamat nanti. Dan karena jasa merekalah terwujud janji Allah yang akan menjaga agama ini.

Dengan demikian jelaslah siapa sebenarnya ahli sunnah wal jama’ah? Siapa itu salafus saleh? Pernyataan golongan-golongan tertentu yang mengaku sebagai ahli sunnah wal jama’ah tetapi nyatanya mereka justru memisahkan diri dari as sunnah dan jama’ah, serta menyerang para salafus saleh atau sebagian dari mereka, adalah pernyataan yang ditolak berdasarkan ketentuan-ketentuan syari’at, dasar-dasar ilmiah, dan fakta-fakta sejarah.

Demikian pula harus ditolak pengakuan-pengakuan bahwa seluruh kaum muslimin itu setia pada sunnah. Pengakuan seperti itu selain mendustakan berita dari Allah dan Rasul utusan-Nya shalallahu alaihi wa sallam yang menyatakan bahwa ada perpecahan, juga berlawanan dengan kenyataan yang ada.

Demikian pula dengan pernyataan dan pengakuan-pengakuan lainnya.

Berdasarkan hal itu, maka sesungguhnya as sunnah bukanlah partai atau semboyan atau aliran yang dianut secara fanatik. Tetapi ia merupakan warisan peninggalan Nabi, mtode yang benar, jalan yang lurus tali yang kuat, dan jalan orang-orang beriman yang terang seterang siang. Siapa yang berpaling darinya pasti ia akan celaka.

Berbagai kesalahan, kekeliruan, dan bid’ah yang dilakukan oleh orang-orang ahli bid’ah atau oleh orang-orang yang mengaku sebagai ahli sunnah, itu sama sekali bukan dari ajaran as sunnah dan bukan mengikuti manhaj yang benar.